Rangkuman minggu ke4 Hukum
Perikatan
1. Pengertian Hukum Perikatan
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau
lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib
memenuhi prestasi. Hukum perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan
bukan berbicara mengenai manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan.
Harta kekayaan adalah objek kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu
pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.
• Menurut Hofmann, Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah
subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang
daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak lain yang
Berhak atas sikap yang demikian.
• Menurut Pitlo, Perikatan adalah
suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih
atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak
Yang lain berkewajiban (debitur)
atas sesuatu prestasi.
• Menurut Vollmar, Ditinjau dari
isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus
melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap (kreditur),
kalau perlu dengan bantuan hakim.
2.
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia
adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi
lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia.
Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH
Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1)
Perikatan yang timbul dari persetujuan
( perjanjian )
2)
Perikatan yang timbul dari
undang-undang
3)
Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan
perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan
undang-undang :
1)
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) :
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
2)
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata )
: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3)
Undang-undang
( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
3.
Asas-asas dalam Hukum Perikatan
1. ASAS KONSENSUALISME
·
Asas
konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt
·
Pasal 1320
KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
(1)
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(2)
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
(3) suatu hal
tertentu
(4) suatu
sebab yang halal.
·
Pengertian
kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui
antara pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
2. ASAS PACTA SUNT SERVANDA
· Asas pacta
sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian.
· Pasal 1338
ayat (1) KUHPdt :
· Perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
· Para pihak
harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu
merupakan kehendak bebas para pihakASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
3. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
· Pasal 1338
KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”
· Ketentuan
tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk :
v Membuat atau tidak membuat
perjanjian;
v Mengadakan perjanjian dengan
siapapun;
v Menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan, dan persyaratannya;
v Menentukan bentuk perjanjian,
yaitu tertulis atau lisan.ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
Di samping ketiga asas utama
tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :
1.Asas kepercayaan;
2.Asas persamaan hukum;
3.Asas keseimbangan;
4.Asas kepastian hukum;
5.Asas moral;
6.Asas kepatutan;
7.Asas kebiasaan;
8.Asas perlindungan;
4.
Asas-asas dalam
Hukum Perjanjian
Asas hukum bukan merupakan hukum
konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar
belakang peraturan konkrit yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif. Asas hukum dapat diketemukan dengan
mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.
(Sudikno Mertokusumo 2006. Penemuan Hukum sebuah pengantar.
Menurut Maris Feriyadi (2007) ada 5
asas dalam membuat perjanjian, yaitu:
1)
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk:
a. membuat
atau tidak membuat perjanjian;
b.
mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c.
menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d.
menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan
(H.S.
Salim. 2006,Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan Ketiga.
Sinar Grafika. Jakarta)
2)
AsasKonsesualisme
Asas konsensualisme berhubungan
dengan saat lahirnya suatu perjanjian yang mengandung arti bahwa perjanjian itu
terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok
perjanjian, mengenai saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, yaitu
antara lain:
a. Teori Pernyataan
(Utingstheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat yang menerima penawaran
menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi dilihat dari pihak yang
menerima, yaitu pada saat menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima,
kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena
dianggap kesepakatan terjadi secara otomatis.
b. Teori Pengiriman
(Verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran
mengirimkan telegram.
c. Teori Pengetahuan
(Vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila yang menawarkan itu mengetahui
adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui
secara langsung).
d. Teori Penerimaan
(Ontvangstheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima
langsung jawaban dari pihak lawan.
3)
Asas Pacta
Sunt Servada
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan
melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati
undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah
perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain.
Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
4)
Asas Itikat Baik
Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua
pengertian yaitu:
- Itikad
baik dalam arti subyektif, yaitu Kejujuran seseorang dalam melakukan suatu
perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada
waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini
diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.
- Itikad
baik dalam arti obyektif, yaitu Pelaksanaan suatu perjanjian harus
didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu
kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai
pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan.
Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu
pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa
kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan
memperhatikan norma-norma yang berlaku.
5)
Asas Kepribadian
Asas ini berhubungan dengan subyek
yang terikat dalam suatu perjanjian. Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur
dalam pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku
antara pihak yang membuatnya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian
yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1337 KUHPerdata yaitu, dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan
pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini
memberi pengertian bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk
kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang telah ditentukan. Sedangkan
dalam Pasal 1338 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri
sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang
memperoleh hak dari padanya.
5.
Wanspretasi dan Akibat-akibatnya
Wanprestasi
adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang
ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ada empat
kategori dari wanprestasi, yaitu :
1.
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2.
Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3.
Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Akibat-akibat wanprestasi berupa
hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu :
- Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur ( ganti
rugi )
Ganti rugi sering diperinci
meliputi tiga unsur, yakni :
a. Biaya adalah segala pengeluaran
atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
b. Rugi adalah kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si
debitor
c.Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
- Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti
rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
- Peralihan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul
kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH
Perdata.
6.Hapusnya Perikatan
Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur
secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam
Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas
menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
1.
Pembayaran.
2.
Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
3.
Pembaharuan
utang (novasi).
4.
Perjumpaan
utang atau kompensasi.
5.
Percampuran
utang (konfusio).
6.
Pembebasan
utang.
7.
Musnahnya
barang terutang.
8.
Batal/
pembatalan.
9.
Berlakunya
suatu syarat batal.
10.
Dan
lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait
dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang
lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan juga demikian. Ada
perikatan yang berakhir karena perjanjian seperti pembayaran, novasi,
kompensasi, percampuran utang, pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya
suatu syarat batal. Sedangkan berakhirnya perikatan karena undang–undang
diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan daluarsa.
Agar berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka
perlu dikemukakan beberapa item yang
penting, perihal defenisi dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya
sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan berakhir:
Pembayaran
Berakhirnya
kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 BW
sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit
dan secara yuridis tekhnis.
Pembayaran
dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur,
pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan
pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi
juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur
atau guru privat.
Suatu
maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah subrogasi. Subrogasi
adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang
membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar, muncul seorang
kreditur yang baru menggantikan kreditur yang lama. Jadi utang tersebut hapus
karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga hidup lagi dengan orang
ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur yang lama.
Konsignasi
Konsignasi
terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh
debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika
kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di
pengadilan.
Novasi
Novasi
diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah persetujuan,
dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus
dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk
melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
1. Apabila seorang yang berutang
membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang
menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut
novasi objektif.
2. Apabila seorang berutang baru
ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang
dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).
3. Apabila sebagai akibat suatu
perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur
lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif
aktif)
Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW
s/d Pasal 1435 BW. Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat
ditagih antara kreditur dan debitur (vide: Pasal 1425
BW). Contoh: A menyewakan rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun. B baru
membayar setengah tahun terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan tetapi
pada bulan kedua A meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang untuk membayar
SPP untuk anaknya sebanyak Rp 150.000. maka yang demikianlah antara si A dan si
b terjadi perjumpaan utang.
Konfusio
Konfusio atau
percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW s/d Pasal 1437 BW. Konfusio
adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan
sebagai kreditur menjadi satu (vide: Pasal 1436).
Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk
sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya
dalam suatu persatuan harta kawin.
Sumber :